Buka2 file lama dan menemukan sepenggal coretan 5 tahun lalu, saat masih beriktiar menjadi teller bank di sebuah rumah sakit. Cekidot.
*
“Dok,
gaji dokter udah keluar. Mau diambil sekarang gak Dok?” kataku pada seorang
Dokter perempuan yang sedang berdiri di depan loketku.
“Oh ya?
Hmm, gak usah aja lah. Ntar aja, simpen aja
dulu.” Katanya sambil berlalu. Glek. Aku menelan ludahku dalam-dalam. Begini kah
ketika seseorang sudah terlalu banyak uang, pikirku saat itu. Terang saja
dokter itu tidak butuh uang gajinya, toh suaminya juga seorang dokter yang
mungkin punya uang lebih banyak. Dan ternyata telaga rupiahnya mengalir tidak
hanya dari profesinya dan suami yang juga seorang dokter, melainkan juga
berasal dari salah satu agency buku cukup ternama di kotaku yang notabene
adalah miliknya, selain itu juga suaminya punya POM bensin. Lengkap sudah
bendungan kocek mereka. Sedikit terenyuh batinku. Padahal belum lama, sekitar
beberapa menit yang lalu seorang perawat bangsal terus bolak balik datang ke
loketku untuk bertanya apakah gaji mereka sudah keluar. Dan setelah mendapat
jawaban bahwa gaji mereka sudah ditanganku, serta merta ia menguras habis
seluruh gajinya untuk dibawa pulang.
Aku masih terdiam mematung. Lama dan panjang kuhela napas
ini. Ada rasa sesak di dada
ini. Sesekali menggelayut rasa cemburu,
cemburu pada rezeki orang lain. Panjang angan ini melambung. Ah, Astagfirullah.
Apa yang aku pikirkan?! Bodoh! Gerutuku sendiri.
Lamunanku terhenti saat ada seorang Bapak menghampiri
loketku untuk membayar transaksi rawat inap Ibu nya. Kulirik nominal biayanya.
Hah! Banyak sekali.
“Total biayanya Rp. 84.750.000 Pak..” kataku sedikit
gemetar. Ternyata Ibu itu di tempatkan di ruang VIP selama 1 bulan, dan dengan
penanganan Home Care juga.
”Ini uangnya.”
Bergebok-gebok uang Rp.100.000 di sodorkannya di
hadapanku. Kuhitung dan ku kembalikan sisanya. Batinku kembali menerawang,
betapa kayanya orang tadi. Uang sebesar bukan menjadi masalah berarti. Seakan
baginya sangat mudah mengeluarkan uang sebesar itu. Perawatan ibunya di
serahkan penuh pada orang lain yakni perawat-perawat bangsal. Tidakkah ia
merasa rugi ketika di akhir sisa umur Ibu nya tidak ia rawat dengan tangannya
sendiri. Aku menerka-nerka dengan segudang asumsiku. Tapi, kenapa aku harus
berpikiran seperti itu? Apa aku tau bagaimana kerasnya usaha sang anak untuk
pengobatan Ibunya. Aku tidak tau. Mungkin saja siang malam Bapak tadi berpikir
keras untuk mendapatkan biaya perawatan Ibu nya. Aku tidak punya hak
sembarangan menuduh.
Lamunanku terbentur dengan suara sirine Ambulance yang
baru saja datang. Kulihat seorang Bapak tergopoh-gopoh menggendong anak
perempuannya yang keterka baru berumur setahun. Suara gaduh terdengar dari luar
dinding UGD. Dan selang beberapa menit kemudian keheningan dipecahkan oleh
ledakan tangisan Bapak tadi. Anak tadi ternyata sudah meninggal dalam
perjalanan ke Rumah Sakit ini. Ia tenggelam dalam sebuah kolam pemancingan di
dekat rumahnya. Ibunya baru sadar ketika tubuh kecil itu sudah mengapung di
permukaan kolam. Tragis. Aku ikut perih, mengingat aku pun juga punya seorang
anak kecil yang belum genap setahun. Betapa pilu rasanya mendengar tangisan
seperti disayat itu. Tapi aku tak mampu berbuat apapun. Apa dayaku? Yang pergi
memang harus pergi tak bisa kembali.
Aku jadi teringat dengan kisah seorang wanita berumur
sekitar 28 tahun mungkin. Tubuhnya dekil dan sedikit bau. Dari loketku kuamati
dia lamat-lamat, sesekali kulihat dadanya naik turun sejurus dengan itu ada
kristal bening meluncur dikedua pipi kurusnya. Ia menangis. Kenapa? Anak kecil
berusia 2 tahun dipangkuannya hanya terdiam menatap sang Ibu yang sedang
terisak. Seolah ingin berkata untuk sedikit menenangkan tapi rasanya tak mampu,
maka anak itu pun tetap berdiam dengan aktifitas awalnya, yakni mengunyah roti
yang baru saja disodorkan Ibunya sambil sesekali menyeka air matanya. Setelah
kutau ternyata mereka berdua belum menyuap sesendok nasi pun ke mulut mereka.
Kulihat beberapa perawat menghampiri dan mensejajarkan posisi duduk mereka
dengan wanita itu. Ada perbincangan hangat disana.
”Suaminya bisa diminta kesini Bu?” tanya salah seorang
perawat pada wanita itu.
Ia hanya menggeleng dan bahkan beberapa kemudian
tangisannya semakin jelas dan lama-lama menghambur pelukan didada sang perawat.
Terdengar raungan yang disertai kata yang tak jelas. Yang bisa kutangkap
hanyalah, ”Tidak.. Tidak.. Tidak peduli...”
Kulihat ada raut cemas di air mukanya. Tak lama ia
terdiam, melamun dan menatap kosong. Akhirnya segelas air putih disodorkan
dihadapannya, ia menegak dengan cepat.
”Suami saya tidak mungkin datang, ia sudah tidak peduli
dengan saya. Lihat ini.. Ini.. Ini dan ini..” wanita itu menunjukkan bagian
tubuhnya yang terluka dan memar.
”Ia kerap memukul saya, bahkan sekarang saya tak punya
uang sedikit pun karena telah dihabiskan olehnya.. sekarang bagaimana saya
harus membayar tagihan di rumah sakit ini??”
Perawat-perawat tadi hanya terdiam, bingung ingin berkata
apa. Aku tak mendengar lagi perbicangan mereka karena ada beberapa pasien yang
ingin melakukan pembayaran. Tak lama kemudian kuliahat perbincangan itu
berakhir, wanita dan anaknya itu kembali masuk ke bangsal.
Huff.. Baru beberapa jam aku duduk disini, aku sudah
melihat sejuta kisah manusia. Tinggal bagaimana kita mengambil hikmah dari tiap
kejadian.