Selasa, 23 Juni 2015

Jagoan Kedua

Hay..Hay..
Mau cerita nih, statusku sudah jadi Ummi dengan 2 anak lho.. Alhamdulillah..
Daaan aku jadi punya 3 jagoan, suami dan anak2 macho.. Hohoho..

Si Macho yang kedua ini namanya Muhammad Hannan Ar-Razzaq, panggilannya Hannan.. Hannan endut, bulet, mirip Faiq sih cuma agak gelap hihihi.. tapi menggemaskan.. Muach2..

Lahir pada hari Sabtu jam 12.30 di RSKIA Sadewa, BB 3,3kg PB 49cm dengan dokter yang sama saat lahirin Faiq, dr.Yasmini.. Rentetan adegan dimulai dari jam 01.00 dini hari dan berakhir 12.30 siang, yaa kurang lebih 12 jam laaaa.. Lebih mendinglah daripada saat Faiq pagi mules lahirnya besok malam.. Huhuhu.. Tapi bersyukur semua lahir dengan selamat, sempurna.. Alhamdulillah..

Walaupun dibulan2 awal hamil Hannan sempet bedrest.. Hiks2.. gegara antri bensin saat ada isu naiknya harga BBM.. Pom Bensin bagaikan tempat paling dicintai di negeri ini. Panas-panas, muter2 naik motor sendiri siang bolong dilanjutkan pulang kantor langsung riweh nyiapin pengajian ibu2 perumahan, dan berakhir dengan lelah yang teramat sangat. Dan saat masuk WC.. "Tidaaaaaaak..." T_T kalo inget itu sedih banget. Akhirnya aku harus bedrest selama 3 minggu. Alhamdulillah Allah SWT masih sayang aku dan baby Hannan.

Dan my Hannan pun lahir dengan selamat.. Ini nih jagoanku yang kedua..




Saat Duduk di Loket



Buka2 file lama dan menemukan sepenggal coretan 5 tahun lalu, saat masih beriktiar menjadi teller bank di sebuah rumah sakit. Cekidot.

*

“Dok, gaji dokter udah keluar. Mau diambil sekarang gak Dok?” kataku pada seorang Dokter perempuan yang sedang berdiri di depan loketku.

“Oh ya? Hmm, gak usah aja lah. Ntar aja, simpen aja dulu.” Katanya sambil berlalu. Glek. Aku menelan ludahku dalam-dalam. Begini kah ketika seseorang sudah terlalu banyak uang, pikirku saat itu. Terang saja dokter itu tidak butuh uang gajinya, toh suaminya juga seorang dokter yang mungkin punya uang lebih banyak. Dan ternyata telaga rupiahnya mengalir tidak hanya dari profesinya dan suami yang juga seorang dokter, melainkan juga berasal dari salah satu agency buku cukup ternama di kotaku yang notabene adalah miliknya, selain itu juga suaminya punya POM bensin. Lengkap sudah bendungan kocek mereka. Sedikit terenyuh batinku. Padahal belum lama, sekitar beberapa menit yang lalu seorang perawat bangsal terus bolak balik datang ke loketku untuk bertanya apakah gaji mereka sudah keluar. Dan setelah mendapat jawaban bahwa gaji mereka sudah ditanganku, serta merta ia menguras habis seluruh gajinya untuk dibawa pulang.

Aku masih terdiam mematung. Lama dan panjang kuhela napas ini. Ada rasa sesak di dada ini. Sesekali menggelayut rasa cemburu, cemburu pada rezeki orang lain. Panjang angan ini melambung. Ah, Astagfirullah. Apa yang aku pikirkan?! Bodoh! Gerutuku sendiri.

Lamunanku terhenti saat ada seorang Bapak menghampiri loketku untuk membayar transaksi rawat inap Ibu nya. Kulirik nominal biayanya. Hah! Banyak sekali.

“Total biayanya Rp. 84.750.000 Pak..” kataku sedikit gemetar. Ternyata Ibu itu di tempatkan di ruang VIP selama 1 bulan, dan dengan penanganan Home Care juga.

”Ini uangnya.”

Bergebok-gebok uang Rp.100.000 di sodorkannya di hadapanku. Kuhitung dan ku kembalikan sisanya. Batinku kembali menerawang, betapa kayanya orang tadi. Uang sebesar bukan menjadi masalah berarti. Seakan baginya sangat mudah mengeluarkan uang sebesar itu. Perawatan ibunya di serahkan penuh pada orang lain yakni perawat-perawat bangsal. Tidakkah ia merasa rugi ketika di akhir sisa umur Ibu nya tidak ia rawat dengan tangannya sendiri. Aku menerka-nerka dengan segudang asumsiku. Tapi, kenapa aku harus berpikiran seperti itu? Apa aku tau bagaimana kerasnya usaha sang anak untuk pengobatan Ibunya. Aku tidak tau. Mungkin saja siang malam Bapak tadi berpikir keras untuk mendapatkan biaya perawatan Ibu nya. Aku tidak punya hak sembarangan menuduh.

Lamunanku terbentur dengan suara sirine Ambulance yang baru saja datang. Kulihat seorang Bapak tergopoh-gopoh menggendong anak perempuannya yang keterka baru berumur setahun. Suara gaduh terdengar dari luar dinding UGD. Dan selang beberapa menit kemudian keheningan dipecahkan oleh ledakan tangisan Bapak tadi. Anak tadi ternyata sudah meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit ini. Ia tenggelam dalam sebuah kolam pemancingan di dekat rumahnya. Ibunya baru sadar ketika tubuh kecil itu sudah mengapung di permukaan kolam. Tragis. Aku ikut perih, mengingat aku pun juga punya seorang anak kecil yang belum genap setahun. Betapa pilu rasanya mendengar tangisan seperti disayat itu. Tapi aku tak mampu berbuat apapun. Apa dayaku? Yang pergi memang harus pergi tak bisa kembali.

Aku jadi teringat dengan kisah seorang wanita berumur sekitar 28 tahun mungkin. Tubuhnya dekil dan sedikit bau. Dari loketku kuamati dia lamat-lamat, sesekali kulihat dadanya naik turun sejurus dengan itu ada kristal bening meluncur dikedua pipi kurusnya. Ia menangis. Kenapa? Anak kecil berusia 2 tahun dipangkuannya hanya terdiam menatap sang Ibu yang sedang terisak. Seolah ingin berkata untuk sedikit menenangkan tapi rasanya tak mampu, maka anak itu pun tetap berdiam dengan aktifitas awalnya, yakni mengunyah roti yang baru saja disodorkan Ibunya sambil sesekali menyeka air matanya. Setelah kutau ternyata mereka berdua belum menyuap sesendok nasi pun ke mulut mereka. Kulihat beberapa perawat menghampiri dan mensejajarkan posisi duduk mereka dengan wanita itu. Ada perbincangan hangat disana.

”Suaminya bisa diminta kesini Bu?” tanya salah seorang perawat pada wanita itu.
Ia hanya menggeleng dan bahkan beberapa kemudian tangisannya semakin jelas dan lama-lama menghambur pelukan didada sang perawat. Terdengar raungan yang disertai kata yang tak jelas. Yang bisa kutangkap hanyalah, ”Tidak.. Tidak.. Tidak peduli...”

Kulihat ada raut cemas di air mukanya. Tak lama ia terdiam, melamun dan menatap kosong. Akhirnya segelas air putih disodorkan dihadapannya, ia menegak dengan cepat.

”Suami saya tidak mungkin datang, ia sudah tidak peduli dengan saya. Lihat ini.. Ini.. Ini dan ini..” wanita itu menunjukkan bagian tubuhnya yang terluka dan memar.

”Ia kerap memukul saya, bahkan sekarang saya tak punya uang sedikit pun karena telah dihabiskan olehnya.. sekarang bagaimana saya harus membayar tagihan di rumah sakit ini??”

Perawat-perawat tadi hanya terdiam, bingung ingin berkata apa. Aku tak mendengar lagi perbicangan mereka karena ada beberapa pasien yang ingin melakukan pembayaran. Tak lama kemudian kuliahat perbincangan itu berakhir, wanita dan anaknya itu kembali masuk ke bangsal.

Huff.. Baru beberapa jam aku duduk disini, aku sudah melihat sejuta kisah manusia. Tinggal bagaimana kita mengambil hikmah dari tiap kejadian.

I'm fine

 You'll be fine.. You'll be fine.. You'll be fine.. it's time to go.. you don't need to excused or say good bye..